Sebuah curahan hati badan yang sedang sakit dan jiwa yang kurang stabil…

Dan sesungguhnya mereka telah membuat makar yang besar padahal di sisi Allah-lah (balasan) makar mereka itu. Dan sesungguhnya makar mereka itu (amat besar) sehingga gunung-gunung dapat lenyap karenanya. (QS Ibrahim 14: 46)

Dan merekapun merencanakan makar dengan sungguh-sungguh dan kami merencanakan makar (pula), sedang mereka tidak menyadari. (QS An Naml 27: 50)

Makar, tipu muslihat dan pengkhianatan menyeret pelakunya ke neraka. (HR. Abu Dawud)

The world is governed by very different personages from what is imagined by those who are not behind the scenes. — BENJAMIN DISRAELI

The two quotations by Manly P. Hall, cited on one of the previous pages, present a completely different view of Masonry than most of the American people have, if they have any view about the lodge at all. I believe it is fair to say that most Americans who are not members of the Masonic Lodge know little or nothing about this group, especially the conclusion that they are as powerful as Mr. Hall has stated. Some of the remainder of the American people know a little, possibly because they know a friend, family member or business associate who is a member. But, even these people know very little about the Masons because they are a “secret” organization, choosing not to reveal what they stand for to non-members.
Those Americans who are Masons know a great deal more, but even then only a small percentage of these men truly know that Masonry is as powerful as Mr. Hall reported.
So, basically the overwhelming majority of the American people do not know much about the Masonic Lodge. Yet many have seen their symbols on the backs of cars, on buildings the Masons call “temples,” and on signs outside of cities advertising their meeting places and times.…
(A. Ralph Epperson, Masonry: Conspiracy Against Christianity)

Be forewarned.
If you are perfectly comfortable and satisfied with your own particular view of humankind, religion, history, and the world, read no further.
If you truly believe that humanity has almost reached the peak of its scientific and spiritual fulfillment and that the corporate-owned mass media is keeping you well enough informed, stop here.
But if you are one of those millions who look at the daily news, scratch your head in wonder; and ask, “What in the world is going on?,” or if you entertain questions of who we are, where we came from, and where we’re all going, you are in for a joy ride.
(Jim Marrs, Rule By Secrecy)

Yet despite the length and breadth of the Information Highway, the average American remains woefully ignorant. That is not to imply they are stupid or mentally challenged. They have simply not been exposed to the information now available. Many thoughtful, educated people in a variety of fields—physicians, lawyers, computer experts, stock brokers, accountants, bankers, merchants, scientists, teachers, etc.—are totally in the dark about a wide variety of issues and the connections between them concerning who truly rules the United States.
Primary causes for such ignorance are the lack of time to educate ourselves and our reliance on a corporate-owned mass media which does not present the information in all its broadest implications. As A. J. Liebling once said, freedom of the press is for those who own the presses … or the radio and TV stations.
(Jim Marrs, Rule by Secrecy)

Yes, I am a criminal. My crime is that of curiosity. My crime is that of judging people by what they say and think, not what they look like. My crime is that of outsmarting you, something that you will never forgive me for. (The Mentor: HACKER MANIFESTO)


Hackers are known for being dangerous…
Our only goal is the Knowledge, and because the Knowledge is the Power, we are considered as dangerous.
But we are not dangerous, we have an Ethique, we respect rules. Only the riffraff will steal, abuse or exploit you for a material profit. You do not have to feel dreadful, we will not arm you without a good reason to do it. We are not insane people, we do not cause damage just for the pleasure. Yes some hackers are thieves, they only hack for money or material benefit. I do not like these people, they are pests.

Listen to us, you are not obliged to believe us, but be open-minded, ask yourself where is the truth. Have you ever remarked that all that you know about computers came from the same source?
They want you to hate us, to fear us. Do not believe them, believe in nothing, try to understand…So, spend few minutes with us, take the time to learn, to see things from our eyes…everything will sound different then.
Welcome to our side, the side of those who want to know.
(Unknown: WELCOME TO OUR SIDE)

Don’t wannabe an American idiot. Don’t want a nation under the new maniac. And can you hear the sound of hysteria? The subliminal mind, fuck America… Don’t wannabe an American idiot. One nation controlled by the media. Information age of hysteria. It’s going out to idiot America. (Green Day, American Idiot)

I never looked around, never second-guessed, Then I read some Howard Zinn now I’m always depressed, And now I can’t sleep from years of apathy, All because I read a little Noam Chomsky (NOFX, Franco Un-American)

Sebelumnya, mohon maafkan saya, para pembaca yang budiman, karena cukup lama tidak mengupdate dan meresponse beberapa komentar dalam blog ini. Saya ada beberapa kesibukan sangat besar dan KEBETULAN juga baru sakit panas demam agak parah sampai beberapa hari. Tulisan ketiga tentang conspiratorial view ini saya buat dalam keadaan belum terlalu sehat, mohon maaf jika saya kurang fokus. Saya diberitahu seorang sahabat ada bahwa di blog ada komentar yang mengangkat opini Goenawan Muhammad bahwa teori konspirasi adalah TEORI ORANG MALAS, dan opini tersebut “dipertegas” oleh Eep Syaefulloh Fatah sebagai TEORI PECUNDANG. Saya belum membacanya keseluruhan komentar tersebut, bahkan artikel ini saya titipkan pada seorang sahabat saya untuk menguploadnya. Sebenarnya ini bukanlah hal yang membuat saya kaget. Saya sudah pernah menulis entah dimana, di Amerika sendiri yang merupakan salah satu negara konspirator terbesar dunia masih banyak yang belum paham dengan konspirasi, padahal indeks baca negara tersebut sangat luar biasa, apalagi jika dibandingkan dengan the so-called Indonesia yang, you know by yourself.

Sebuah upaya pembodohan sistematis rupanya sedang in progress ditengah situasi masyarakat Indonesia yang sedang mulai tergerak untuk berpikir lebih kritis ini. Bisa dilihat dari beberapa komentar yang muncul pada blog ini dan beberapa blogroll blog ini, antusiasme masyarakat terhadap masalah conspiracy and secret society sedang naik secara cukup signifikan, dan sayangnya oleh para “intelek” dimentahkan dengan pernyataan seperti itu. Cukup sedih sebenarnya ketika menyaksikan fenomena “aneh” seperti ini. Namun kesedihan yang berlarut-larut tidak akan menyelesaikan masalah. Kita semua harus berpikir dan menjawab tuduhan malas dan pecundang itu. Saya bisa bilang, opini (minimal) dua tokoh tersebut itulah produk pembelajaran sejarah standar, accidental view of history (saya lebih suka menyebutnya fatalistic view of history), sejarah satu arah, sejarah cekokan, sejarah yang kita pelajari selama ini di bangku sekolah formal tanpa pernah ada kritik, hanya ada “fakta” dan “data”, yang tidak boleh dipertanyakan jika anda ingin lulus dengan hasil memuaskan.

Ada dua hal yang ingin saya angkat dalam artikel ini, teori orang malas dan teori pecundang. Dari tanggapan ini saya berharap kita akan mengetahui siapa sebenarnya yang malas dan pecundang, KAMI para pembelajar sejarah konspirasi (a.k.a sejarah revisionis a.k.a sejarah interaktif) ataukah MEREKA para pemuja sejarah standar!!!

Tentang TEORI ORANG MALAS menurut Goenawan Muhammad. Mohon baca kembali artikel saya sebelumnya, yang berjudul CONSPIRATORIAL VIEW BUKANLAH ALTERNATIF, MELAINKAN KEBUTUHAN di blog ini, siapa yang sebenarnya malas, KAMI yang tak pernah berhenti mencari, meriset, menemukan fakta untuk sampai pada kebenaran sejati, ataukah MEREKA yang cukup puas dengan cekokan sejumlah peristiwa KEBETULAN yang bahkan tidak mereka kunyah tapi langsung ditelan begitu saja. So sorry Mr. Goenawan, KAMI merupakan orang-orang yang tidak pernah berhenti mencari pada satu titik pencarian dan puas disitu. No!!! KAMI mengawali semuanya dengan skeptisisme tingkat tinggi, bahkan mungkin dengan paranoia tingkat tinggi, sehingga otak dan hati KAMI bekerja melebihi anda dan pendukung-pendukung opini anda yang anda anggap RAJIN. Maaf, KAMI berpikir dan bekerja beberapa kali lipat dibanding usaha anda mempelajari “teori orang rajin” anda.

Bagaimana anda bisa mengatakan KAMI malas, sedangkan KAMI yang membuka fakta bahwa Freemasonry (yang bagi orang-orang “rajin dan intelek” seperti anda mungkin cuma legenda alias gugon tuhon aja) sudah masuk ke Indonesia sejak tahun 1700an dan itu TIDAK PERNAH kalian beritahukan dalam sejarah yang KAMI pelajari di sekolah formal. Bagaimana anda bisa mengatakan KAMI malas, sedangkan KAMI mengetahui Revolusi Perancis tidak dipicu oleh kemarahan rakyat akibat gaya hidup Maria Antoinette, menurut sejarah “orang rajin”, yang mewah ditengah kesulitan ekonomi rakyatnya, padahal Protocols of Zion, yang bagi anda yang “rajin” itu dikatakan hoax, menegaskan bahwa kekuatan konspirasilah (Rothschild Dynasty melalui tangan French Freemasonry, Bavarian Illuminati, atau siapapun) yang merekayasa revolusi tersebut. Tidak sadarkah anda bahwa, jika KAMI ikut menelan “sejarah versi orang rajin” tersebut KAMI ikut memfitnah wanita “baik” yang tidak bisa membela diri lagi kecuali di akhirat nanti itu? Astaghfirullah al adzhiim…

Itu baru dua contoh KECIL saudara yang terhormat, dan itu sudah cukup sebagai trigger bagi pembelajar conspiratorial view, yang rajin mencari, menganalisa, menghubungkan dots tiap kejadian, tidak seperti sejarah cekokan yang membeberkan semua “fakta” yang harus kami telan mentah-mentah. Semakin banyak saya kasih contoh hanya membuat kami menjadi tumpul otaknya dan pembelajaran conspiratorial view of history tidak akan efektif karena para pembelajar tidak terpancing untuk mencari contoh lain. Conspiratorial view hanya akan menjadi semacam cuci otak – semacam accidental view yang menyuci otak kita dengan pandangan bahwa semua hal terjadi karena kebetulan, atau semacam fatalistical view (istilah saya) yang menyuci otak kita dengan pandangan bahwa segala sesuatu merupakan ketetapan Tuhan yang kita para manusia berotak dan berhati ini tidak diberikan sedikitpun kemampuan untuk mencegahnya – dengan pembeberan semua contoh yang perlu diketahui, disini kelihatan bahwa conspiratorial view sangat menghargai kemampuan kreatif manusia, terutama otak dan hati untuk mengembangkan diri, tidak seperti sejarah standar yang terlalu banyak memberikan “contoh” peristiwa dan tidak memberikan kesempatan pada pembelajarnya untuk menjadi kreatif dalam mengembangkan diri pembelajar tersebut.

Tentang TEORI PECUNDANG menurut Eep Syaefulloh Fatah. Pecundang menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka edisi tahun 1995 (udah basi kayaknya), bermakna penghasut. Dalam pengertian sekarang banyak dimaknai sebagai pihak yang kalah. Tak perlu mempermasalahkan mana yang tepat, kedua makna tersebut sudah digunakan secara salah oleh yang terhormat Eep Syaefulloh Fatah, seorang yang katanya begitu demokratis, namun tidak pada kata konspirasi. Kami para periset konspirasi bukan pihak yang kalah, dan bukan penghasut. Kami meriset, menganalisa, menghubungkan dots, mencerdaskan diri, menemukan fakta, dan membuka temuan fakta tersebut pada publik. Kami bukan provokator. Sejarah standar-lah yang lebih pantas dibilang penghasut dan provokator.

Lihat kembali contoh yang saya berikan diatas tentang Maria Antoinette dari Perancis!!! Siapa yang menghasut!!! Siapa yang memfitnah!!! SEJARAH ANDA ATAU SEJARAH KAMI?!!! Kapan sejarah standar menjelaskan di buku-buku pelajaran sejarah Indonesia dan dunia dari SD, SMP, dan SMA bahwa Maria Antoinette difitnah?!!! Sejarah PEMENANG anda turut menyebarkan fitnah tersebut, dan William Guy Carr melalui bukunya PAWNS IN THE GAME-lah yang bertindak menjadi salah satu pengacaranya, bukannya buku sejarah standar  anda yang justru ikut menyebarkan fitnah tersebut sehingga hampir semua orang Indonesia yang belajar sejarah standar di SMP, SMU, dan perguruan tinggi memandang jelek pada Maria Antoinette!!! Renungkan kalimat Antony Sutton dalam bukunya AMERICA’S SECRET ESTABLISHMENT berikut ini:

Times have changed. The weaknesses, inconsistencies and plain untruths in official history have surfaced. In the 1980s it is rare to find a thinking reader who accepts official history. Most believe it has been more or less packaged for mass consumption by naive or greedy historians. Although an historian who will stick out his neck and buck the trend is rare, some who do are victims of an even deeper game. Conspiracy then is an accepted explanation for many events at the intelligent grass roots level, that level furthest removed from the influence of The Order. We can cite at random the Kennedy assassination where the official “lone gunman” theory was never accepted by Americans in the street; Watergate, where a “deep throat” informer and erased tapes reek of conspiracy, and Pearl Harbor, where Rear Admiral Husband E. Kimmel and Major General Walter C. Short took the rap for General George C. Marshall and President Franklin D. Roosevelt.

The revisionist historian has a double burden as well as a double task. The double burden is that research likely to question the official historical line will not get financed. The double task is that research must be more than usually careful and precise.

Jadi siapa bilang ini pekerjaan pecundang? Penghasut? Seorang yang kalah? Kami punya jadwal kerja otak dan hati lebih ketat daripada pembelajar sejarah cekokan standar. Mungkin anda bilang kami penghasut karena temuan kami (bukan TEORI!!!), membuat lebih banyak orang bereaksi daripada versi sejarah cekokan anda. Anda mengatakan kami kalah, mungkin karena masih sangat sedikit yang mau mempelajari konspirasi, apalagi menghabiskan waktunya untuk itu seperti yang sudah dikerjakan mendiang A. Ralph Epperson contohnya, dan mungkin karena penerimaan masyarakat kita pada temuan-temuan konspirasi tidaklah sebagus tanggapan mereka pada, misalnya (semoga tidak pernah muncul, ingat sekali lagi, ini cuma misalnya), gossip saya pacaran dengan mba Rianti Cartwright setelah putus dengan Banyu Biru – sekali lagi maaf saya mencatut nama dua selebritis itu, saya hanya ingin memberikan contoh saja, bagaimana sebuah gossip akan menjadi “fakta” jika diblow up media – dan muncul di infotainment. Kenapa bisa seperti ini? Inilah hebatnya dampak sejarah cekokan pada masyarakat selama beberapa dekade ini, menjadikan otak tumpul, menjadikan kita fatalis, tidak kreatif mengembangkan kemampuan yang setiap kita punyai.

Itu saja dari saya untuk sementara ini. Terimakasih kepada segala pihak yang telah membantu menguatkan hati saya yang lemah selagi sakit, dek RRCP (termasuk poppy & mommy), dek HNAP, dek INS, DMS (my Angel of spirit from Netherland), mas AH dan istri, FAW, AAS, mas YP dan istri, mas BG dan istri, tante W, dan beberapa lagi yang sengaja tidak saya sebutkan. Untuk yang lupa disebutkan, mohon maaf yang sebesar-besarnya. Terimakasih banyak. Untuk semua pembaca budiman, mohon maaf belum dapat kembali berinteraksi seperti sediakala, mohon maaf untuk pertanyaan-pertanyaan dan tanggapan-tanggapan yang belum terjawab. Insya Allah akan saya jawab secepatnya setelah get fully recovered.

Artikel ini saya buat sebagai peringatan istimewa, teruntuk nabi Muhammad SAW yang sempat menghadapi konspirasi unsur Yahudi dengan racun dan cara lain, serta empat khalifah, terutama Umar bin Khattab, juga Hamzah bin Abu Mutholib, yang terbunuh oleh kekuatan konspirasi; nabi Isa al-Masih dan pengikutnya yang menjadi korban fitnah konspirasi, nabi Musa dan Harun yang menghadapi secret society (klub penyihir Fir’aun) dan konspirasi mereka, nabi Yusuf yang menjadi korban konspirasi saudara-saudaranya, nabi Ibrahim yang menghadapi konspirasi Namrudz, dan nabi Allah yang lain.

Juga untuk individu-individu seperti mendiang A. Ralph Epperson, mendiang Gary Allen, mendiang Cherep Spiridovich, mendiang Captain William Morgan, almarhum ZA Maulani, almarhum Andrew Nathanas Jordison, mendiang Abbe Barruel, mendiang John Robison, mendiang Awad Khoury, mendiang George Samuel Lawrence, mendiang Nesta H. Webster, mendiang Victor E. Marsden, mendiang Maria Antoinette, mendiang Lady Diana, dan segenap patriot pejuang yang berperang habis-habisan melawan secret societies dan conspiracies dengan caranya masing-masing di seluruh penjuru dunia.

Last but not least, untuk segenap korban perang suku Sampit, Sambas, Pontianak, Kerusuhan Ambon, Kerusuhan Poso, DOM Aceh, Kerusuhan Timor Leste, Kerusuhan Mei Jakarta, Perang Dunia I, Perang Dunia II, Revolusi Perancis, Revolusi Rusia, Reformasi Gereja, Tsunami Aceh, Gempa Jogja, Gempa Nias, konflik Bosnia-Serbia, Tragedi 911, Konflik Israel-Palestina, dan sebagainya, serta korban tidak langsung dari kebijakan Patriot Act, UU Anti Teror, kebijakan IMF, kebijakan PBB, dan semua konspirasi yang pernah ada, yang bahkan tidak pernah mendengar kata conspiracy, depopulation control, dan sejenisnya sampai mereka menjumpai kehidupan abadi setelah maut menjemput mereka.

Oleh Ir. H. Muhammad Umar Alkatiri

Tanggal 12 Oktober 2002, tepat satu tahun lebih satu bulan lebih satu hari setelah peristiwa 11 September 2001 (atau biasa dikenal dengan sebutan WTC 911 yang terjadi di Amerika Serikat), terjadi ledakan dahsyat di Bali. Tiga tahun kemudian, 01 Oktober 2005, terjadi lagi ledakan di pulau yang sama dengan titik lokasi kejadian berbeda.

Bila diperhatikan jarak Bom Bali pertama dengan kedua berselang tiga tahun, ada yang mengkhawatirkan jangan-jangan di tahun 2008, khususnya di bulan Oktober ini, akan terjadi ledakan serupa di pulau yang sama. Namun Alhamdulillah, sampai saat tulisan ini dibuat, kejadian seperti tahun 2002 dan 2005 itu tidak terjadi.

Bali sejak awal 1970-an telah menjadi pulau pariwisata. Namun, industri pariwisata yang berkembang di Bali sama sekali tidak bertitik tolak dari eksotika budaya Bali, tidak sekedar menjual keindahan Bali dengan segala kehidupannya yang bernapaskan Hindu. Tetapi, pariwisata di Bali adalah industri yang menjajakan seks bebas, drug, narkoba, perjudian, dan segala bentuk maksiat lainnya. Di samping itu, industri pariwisata di Bali tidak menghormati tempat-tempat suci umat Hindu Bali. Contohnya, laut menuju Pulau Serangan dengan Pura Sakenan warisan Danghyang Nirartha ditimbun investor, sehingga orang Bali tidak lagi bisa berkunjung untuk menjalani ritual ke Pura Sakenan. Selain itu, di seberang Pura Tanah Lot dibangun lapangan golf dan hotel mewah Nirwana Resort.

Ironisnya lagi, kontribusi dunia pariwisata terhadap upaya pemeliharaan tempat-tempat suci orang Hindu di Bali, amat tidak signifikan. Barangkali, inilah hasil yang dipetik dari diterapkannya pluralisme dan toleransi ala Bali sejak 1970-an.

Bahkan di Bali ada café khusus yang hanya boleh dimasuki wisatawan asing. Untung saja di café tersebut pada pintu masuknya tidak tertulis pesan berupa: Khusus Turis Mancanegara, Pribumi dan Anjing Dilarang Masuk! Dari Bali, seharusnya kita sudah bisa melihat dan merasakan betapa harga diri bangsa kita direndahkan, dengan alasan menghormati tamu (turis mancanegara) yang menyumbangkan devisa. Anak-anak bangsa kita menjadi pelayan bagi turis-turis mancanegara yang sebagian besar di negara asalnya hanya berasal dari kelas sosial rendahan, seperti sopir truk dan sejenisnya.

Kalau tragedi Bom Bali merupakan reaksi sebagian orang atas nama mujahid Islam terhadap kasus pembantaian di Tobelo-Galela (dan Maluku pada umumnya), juga merupakan reaksi terhadap aksi pembantaian di Pesantren Walisongo (dan Poso pada umumnya), mengapa Bali yang dijadikan pilihan? Bukankah di Bali penganut agama Kristen-Katholik hanya minoritas belaka? Bukankah di Bali mayoritas penduduknya beragama Hindu?

Kalau yang dijadikan alasan adalah melawan Amerika, mengapa korban yang jatuh kebanyakan warga Australia? Pada Bom Bali pertama, korban terbesar berasal dari Australia, dan hanya sekitar 7 orang saja yang warga negara Amerika Serikat. Pada Bom Bali kedua, dari 20 korban tewas, lima belas di antaranya adalah warga negara Indonesia; sedangkan dari seratus lebih korban luka-luka, sebagian besar (atau sekitar 67 orang) berasal dari Indonesia. Warga negara Amerika Serikat yang luka-luka hanya empat orang.

Kalau yang dijadikan alasan adalah melawan Amerika dan sekutunya, seharusnya ledakan bom itu di sana: di Amerika, di Australia, di Inggris, dan sebagainya. Bukan di Bali!

Mengapa Bali? Apakah karena para pelaku Bom Bali itu begitu ‘terkesan’ dengan sikap orang Bali yang sedikit-sedikit gemar mengumbar ancaman kosong berupa akan memisahkan diri dari NKRI? Apakah ini menunjukan bahwa orang Bali tidak loyal kepada NKRI, sehingga perlu diberi ‘pelajaran’ menurut pandangan para pelaku Bom Bali? Wallahu’alam.



Mengumbar ancaman

Masih ingat ketika orang Bali pada Januari 2000 turun ke jalan dan mengumbar ancaman akan memisahkan diri dari NKRI, ‘hanya’ karena AM Saefudin mempertanyakan agama Megawati yang –sebagaimana diberitakan The Jakarta Post– terlihat sedang bersembahyang di salah satu Pura di Bali?

Megawati yang beragama Islam bersembahyang di Pura, tentu merupakan sembahyang politik. Artinya Megawati telah dengan sengaja mempolitisasi sembahyang (ritual agama Hindu) untuk kepentingan politiknya, yaitu dalam rangka mencari simpati masyarakat Bali untuk memilih partainya.

Berdasarkan logika akal sehat, seharusnya masyarakat Hindu di mana pun berada –terutama yang berada di Bali– marah kepada Megawati, karena ritual keagamaannya dimain-mainkan oleh politisi. Namun kenyataannya, orang Bali justru marah kepada AM Saefudin, dan bahkan mengumbar ancaman mau memisahkan diri dari NKRI. Ancaman serupa itu juga terjadi di tahun 2006 dan 2008 demi menolak RUU APP yang kini menjadi RUU Pornografi.

Orang Bali menolak RUU APP (atau RUU Pronografi), dengan alasan demi menjaga keragaman dan kesatuan yang ada pada bangsa Indonesia, sekaligus untuk melawan pemaksaan kehendak kelompok Islam karena RUU Pornografi itu dinilai membawa aspirasi agama tertentu (Islam). Benarkah demikian?

Faktanya, pada semester kedua tahun 2006, terjadi kasus pemaksaan mengucapkan salam dengan tata cara agama Hindu terhadap anggota DPRD Bali beragama Islam (dari PPP), sebagaimana dilakukan oleh I Made Kusyadi dari Fraksi PDIP. Kusyadi ketika itu berdalih, bahwa salam Hindu sedang diperjuangkan anggota DPD asal Bali menjadi salam nasional. Alasan ini jelas mengada-ada, karena sejauh ini tidak ada satu bentuk salam dari agama tertentu yang sedang diperjuangkan menjadi salam nasional. Tindakan Kusyadi merupakan bentuk nyata dari politisasi agama, dan menunjukkan bahwa politisi kader PDIP itu belum dewasa, cenderung sektarian dan arogan.

Kalau Bali benar-benar memisahkan diri dari NKRI, apakah akan lebih baik lagi keadaannya? May be yes, may be no. Soalnya, pada saat masih menjadi bagian dari NKRI saja, orang Bali seperti koeli di kampungnya sendiri. Bagaimana kalau mereka berpisah dari NKRI? Apalagi, ketergantungan Bali terhadap orang-orang di luar Bali begitu tinggi. Pelaku bisnis di Bali, sebagian besar berasal dari luar Bali. Termasuk pelaku bisnis di kaki lima dan pasar tradisional, sebagian berasal dari luar Bali (terutama Jawa dan Lombok). Bahkan, untuk memenuhi keperluan ritualnya, pasokan janur, telur bebek (itik), kelapa dan berbagai kembang dipasok dari Jawa Timur. Jika Bali berpisah dari NKRI, jangan-jangan nasibnya tidak lebih baik dari Timor Timur (Timor Leste).

Pada harian BERITA KOTA edisi 17 Maret 2006 (halaman 5), seorang putra Bali yang berdomisili di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, menuliskan opininya berjudul Bali Bukan Pulau Maksiat, sebagai berikut:



BAGI mereka yang masih ingat pelajaran sekolah dasar (SD), khususnya tentang Bali, pastilah masih terngiang dengan istilah Subak, yaitu sistem pengairan sawah berjenjang khas Bali yang menjadi salah satu nilai tambah orang Bali.

Pada dasarnya masyarakat Bali adalah agraris sekaligus artistik. Sawah dan kesenian adalah ciri khas Bali.

Sebelum Orde Baru lahir, Bali mulai mengalami penjajahan kultural, yang menggeser kebiasaan masyarakatnya dari bertani dan berkesenian menjadi pelayan orang asing dengan kedok pariwisata.

Neokolonialisasi yang dialami rakyat Bali justru dianggap sebagai berkat terselubung, baik oleh petinggi agama Hindu, tokoh adat, maupun rakyat pada umumnya. Karena faktor dolar, maka penjajahan bentuk baru ini justru dinikmati dan disyukuri karena dapat menjadi sumber pendapatan utama kawasan Bali.

Rakyat Bali yang sudah tergadaikan harga dirinya ini, masih pula bersikap sombong, yaitu gemar menebarkan ancaman mau memisahkan diri. Padahal, jika Bali lepas dari NKRI, akan semakin leluasa dijadikan obyek eksploitasi dan perbudakan oleh bangsa asing. Sekian dasawarsa telah membuktikan bahwa masyarakat Bali sangat mudah ditaklukkan (dijajah), setidaknya berupa penjajahan kultural melalui pariwisata.

Pariwisata yang lekat dengan maksiat, memang kawasan yang mudah mendatangkan uang. Tanpa kerja keras, dolar mengalir deras. Masyarakat Bali seperti artis muda yang sedang laris, uang datang dengan mudah sehingga lupa diri dan hidup berfoya-foya.

Kelak, Bali akan memasuki usia tua dan sakit-sakitan sehingga tidak diminati turis. Misalnya, akibat diterjang bencana alam yang dahsyat atau penyakit kotor yang mematikan sebagai dampak negatif dari industri pariwisata.

Bagi para tetua Bali, kerinduan akan Bali yang agraris adalah kerinduan yang tak mungkin terwujud. Kini, masyarakat Bali lebih senang dan bangga menjadi pelayan orang asing, lebih senang hidup dan menjadi bagian dari industri maksiat. Padahal, asal-muasal Bali bukanlah Pulau Maksiat tapi Pulau Dewata. (Putu Yasa, Pasar Minggu, Jakarta Selatan)



Namun demikian, memang sangat pantas bila orang Bali marah kepada Ali Ghufron bin Nurhasyim alias Mukhlas, Amrozi bin Nurhasyim, Imam Samudra alias Abdul Azis, dan Ali Imron bin Nurhasyim alias Ale. Mungkin orang Bali menghendaki agar eksekusi mati atas diri mereka segera dilaksanakan.

Tapi, mohon dimengerti juga bila ada orang Bali yang justru ‘berterimakasih’ kepada mereka, karena sakit hatinya terlampiaskan. Sakit hati yang timbul karena salah seorang anak mereka pernah menjadi korban pengidap paedophilia. Sakit hati yang ditimbulkan oleh rasa kesal dan benci karena tempat-tempat suci mereka diinjak-injak turis asing. Sakit hati yang timbul karena anak-anak mereka menjadi kurir narkoba, pengguna narkoba, dan sebagainya.

Orang Bali yang bersikap seperti itu memang amat sangat sedikit sekali alias minoritas. Nah ini merupakan kesempatan bagi para pendukung minoritas seperti Gus Dur untuk membela mereka. Soalnya, Gus Dur khan selama ini selalu mencitrakan diri sebagai pendukung minoritas, antara lain Ahmadiyah. Pada 4 Mei 2008, ketika sejumlah wartawan bertanya mengapa ia membela Ahmadiyah, Gus Dur mengatakan, “Karena mereka kaum minoritas yang perlu dilindungi dan saya tidak peduli mengenai ajarannya.” (lihat tulisan berjudul Gus Dur Bela Ahmadiyah Berdalih karena Minoritas edisi May 8, 2008 1:10 am).

Tak berapa lama kemudian, Gus Dur pun mendapat penghargaan dari Mebal Valor, sebuah LSM (lembaga swadaya masyarakat) yang berbasis di Los Angeles. Siapa tahu kali ini pun Gus Dur bisa mendapat hadiah serupa setelah membela minoritas Bali yang justru ‘berterimakasih’ kepada Amrozi cs karena telah melampiaskan rasa sakit hatinya. Untuk lebih afdholnya, Gus Dur juga sebaiknya membela Amrozi cs, karena mereka itu juga minoritas. Faktanya, mayoritas penduduk Indonesia berprofesi sebagai petani dan nelayan, hanya sedikit saja (minoritas) yang berprofesi sebagai pelaku pemboman. “Belain mereka juga dong, Gus…”



Bom Bali Pertama

Bom Bali Pertama yang terjadi pada hari Sabtu tanggal 12 Oktober 2002, sekitar pukul 23.10 WITA, selain menelan 202 korban jiwa, juga menyebabkan sekitar 350 orang lainnya mengalami luka-luka berat dan ringan. Ketika itu, terjadi tiga ledakan sekaligus, dua diantaranya terjadi di jalan Legian, Kuta (Bali), satu lainnya di Renon dekat Konsulat AS (jalan Raya Puputan).

Ledakan yang terjadi di jalan Legian, khususnya di Paddy’s Pub dan Sari Club, menyebabkan kedua bangunan tersebut porak poranda, dan beberapa bangunan di sekitarnya rusak berat dan ringan. Menurut cacatan pihak kepolisian, korban terbesar berasal dari Australia (sekitar 83 orang), diikuti dengan Indonesia (sekitar 37 orang), WN Inggris (sekitar 28 orang). Untuk mengenang tragedi ini, dibuat sebuah ‘bangunan bersejarah’ yang diberi nama Monumen Ground Zero di Legian, Kuta, Bali.

Dari kasus Bom Bali Pertama ini, aparat kepolisian menetapkan tersangka utama yang terdiri dari 4 orang, yaitu Ali Ghufron bin Nurhasyim alias Mukhlas (kelahiran Tenggulun, Solokuro, Lamongan, Jawa Timur tanggal 02 Februari 1960), divonis Hukuman Mati; Amrozi bin Nurhasyim (kelahiran Tenggulun, Solokuro, Lamongan, Jawa Timur tanggal 05 Juni 1962), divonis Hukuman Mati; Imam Samudra alias Abdul Azis (kelahiran Serang, Banten tanggal 14 Januari 1970), divonis Hukuman Mati, dan Ali Imron bin Nurhasyim alias Ale (kelahiran Tenggulun, Solokuro, Lamongan, Jawa Timur tanggal 02 Januari 1979), divonis Penjara Seumur Hidup. Persidangan atas diri mereka sudah berlangsung sejak 12 Mei 2003.

Genap setahun setelah terjadinya tragedi Bom Bali pertama, 12 Oktober 2003, diadakan peringatan, yang tidak hanya berlangsung di Bali, tetapi antara lain di Inggris. Bisa dibaca, korban Bom Bali pertama dari Inggris menduduki peringkat ketiga setelah Australia dan Indonesia, yaitu mencapai 28 orang korban. Sedangkan warga negara Amerika yang menjadi korban mencapai 7 orang (peringat ke-4).

Di Inggris, Menteri Luar Negeri Jack Straw (kala itu) bergabung bersama sekitar 800 orang di Gereja St Marin, London, memperingati satu tahun tragedi Bom Bali. Peringatan setahun Bom Bali kala itu diorganisir Kelompok Korban Bom Bali (BBVG) di Inggris. Mereka selain menyanyikan himne, pembacaan puisi, menaburkan mawar putih, juga menyalakan lilin-lilin di halaman gereja, serta menerbangkan sebanyak 202 balon sebagai representasi dari korban yang meninggal. Tidak hanya Jack Straw, acara itu juga dihadiri oleh Duke of Kent sebagai wakil Ratu Inggris, dan Menteri Kebudayaan Tessa Jowell.

Pada peringatan tahun keempat tragedi Bom Bali pertama, Pangeran Charles (putra mahkota kerajaan Inggris) meresmikan tugu peringatan di St James Park, Westminster, London, Kamis (12 Okt 2006). Peresmian itu diawali dengan pembacaan sambutan oleh Menteri Negara urusan Budaya Media dan Olahraga Tessa Jowell, yang antara lain mengatakan bahwa tugu peringatan tersebut merupakan ungkapan rasa kepedihan dan kesetiakawanan.

Setiap tahun, tragedi Bom Bali pertama ini diperingati tidak hanya di sekitar Monumen Ground Zero yang terletak di Legian, Kuta, tetapi juga di kantor Konsulat Australia di Denpasar. Menjelang malam 12 Oktober 2008, sekitar 100 peselancar melaksanakan peringatan serupa di Pantai Kuta, mereka melaksanakan kegiatan Peddel for Peace (dayung untuk perdamaian), pelepasan tukik dan burung merpati serta perenungan perdamaian di Pantai Kuta.

Di sekitar Monumen Ground Zero pada 12 Oktober 2008 lalu, peringatan ini ditandai dengan pemasangan lilin di sekitar monumen. Ketika itu tampak hadir Gubernur Bali I Made Mangku Pastika, yang pernah menjabat sebagai Ketua Tim Investigasi peristiwa Bom Bali Satu. Sejak pagi keluarga korban dan masyarakat maupun wisatawan asing yang sedang berada di Bali menyempatkan diri mengunjungi monumen ini untuk berdoa ataupun meletakkan karangan bunga.

Dari tragedi Bom Bali pertama ini, tidak hanya berdiri sebuah monumen, tetapi juga berdiri sebuah lembaga bernama Yayasan Paguyuban Isana (Istri Suami Anak) Dewata, yang diketuai oleh Raden Supriyo Laksono (alias Sony). Melalui paguyuban ini, pemerintah memberikan tunjangan kepada keluarga korban sampai tahun ketiga setelah peristiwa ledakan terjadi. Setelah itu, sejumlah ekspatriat asal Australia yang membentuk yayasan bernama Kuta International Disaster Scholarship (KIDS), berperan membantu kelangsungan hidup dan pendidikan anak-anak korban bom Bali. Setiap anak dipenuhi keperluannya, seperti uang komite, SPP, buku, sepatu, dan perlengkapan lainnya. Bantuan berupa uang dari KIDS diberikan setiap enam bulan sekali, dan akan berlangsung sampai anak-anak tersebut lulus kuliah.



Bom Bali Kedua

Sedangkan Bom Bali Kedua terjadi pada hari Sabtu, tanggal 01 Oktober 2005, sekitar jam 23:00 waktu setempat, di tiga lokasi sekaligus, yaitu di Kafe Menega (Jimbaran, Bali), Kafe Nyoman (Jimbaran, Bali), dan Raja’s Bar & Rest (di Kuta Square). Dari tragedi yang menewaskan 20 orang ini, sebagian besar korban (15 orang) berasal dari Indonesia, selebihnya warga negara Australia (4 orang), serta 1 warga negara Jepang.

Rabu 01 Oktober 2008, peringatan Bom Bali Kedua digelar di halaman Konsulat Australia di Bali, di Jl Mpu Tantular, Denpasar. Peringatan ini dihadiri oleh Konjen Australia Bruce Cowled, Konjen Jepang Eiichi Suzuki, Gubernur Bali Made Mangku Pastika, serta sekitar 20 korban dan keluarga korban Bom Bali Kedua asal Australia dan Indonesia ini, diliputi suasana hening diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan lagu Kebangsaan Australia. Kemudian diikuti dengan membacakan nama korban yang meninggal. Kemudian, satu per satu para konjen, korban dan keluarganya meletakkan bunga di altar.

Di bekas Raja’s Bar & Rest, peringatan Bom Bali Kedua berlangsung setiap tahun. Lokasi itu kini bernama Raja’s Kafe, dan menjadi toko pakaian. Karyawan Raja’s duduk melingkar, menyalakan lilin sambil memanjatkan doa.

Pada Bom Bali Kedua digunakan jenis bom melayang, yaitu bom bunuh diri yang dimasukkan ke dalam tas punggung, kemudian diledakkan, sehingga menghancurkan pelakunya. Sebenarnya pada kasus Bom Bali Pertama, modus ini juga dipraktekkan, yaitu di lokasi Paddy’s Café.

Oleh karena itu, pelaku utama Bom Bali Kedua ini, pada mulanya tidak bisa diidentifikasi, karena ia hancur bersama dengan bom yang dibawanya. Seiring perjalanan waktu, berhasil diidentifikasi salah satu pembawa bom melayang ini diduga bernama Salik Firdaus. Meski demikian, dari kasus ini berhasil ditetapkan empat terdakwa, yaitu Abdul Azis, Dwi Widiyarto, dan Anif Solchanudin, dan Mochamad Cholily. Tiga yang pertama dituntut Jaksa Penutut Umum (JPU) 10 tahun penjara, sedangkan Cholily dituntut lebih berat yaitu 15 tahun penjara karena terlibat langsung dalam bom Bali II.

Bila dibandingkan dengan peringatan Bom Bali Pertama, yang kedua memang kurang semarak. Mungkin karena jumlah korban tewas yang terjadi pada tragedi Bom Bali Kedua ‘hanya’ 20 orang, itu pun sebagian besar orang Indonesia sendiri. Namun demikian, masih mending bila dibandingkan dengan kasus lain yang korbannya seratus persen orang Indonesia (mayoritasnya Muslim), sebagaimana terjadi pada kasus pembantaian di Tobelo (Desember 1999-Januari 2000), dan Pesantren Walisongo (28 Mei 2000).

Meski korban pembantaian yang terjadi di Tobelo-Galela dan Pesantren Walisongo jumlahnya jauh lebih banyak dari korban Bom Bali Pertama, namun hingga kini tidak ada monumen peringatan yang didirikan di lokasi tersebut. Bahkan mungkin tidak ada paguyuban atau lembaga bantuan yang menyantuni korban di lokasi tersebut.

Bagaimana seandainya di lokasi-lokasi tempat berlangsungnya pembantaian terhadap umat Islam didirikan monumen berisikan nama-nama korban, dan dibaca setiap tahun, untuk mengingatkan kepada kita betapa kejamnya orang Kristen dan Katholik. Selain nama-nama korban, akan lebih lengkap lagi bila pada monumen peringatan itu diabadikan juga nama tokoh-tokoh yang terlibat pembantaian, termasuk Tibo cs tentunya.



Tragedi Pembantaian di Tobelo

Tobelo merupakan sebuah kota kecamatan di Maluku Utara. Tragedi pembantaian Tobelo merupakan rangkaian kasus Ambon Berdarah yang terjadi sejak 19 Januari 1999. Kasus Tobelo sendiri berlangung mulai 24 Desember 1999 hingga 7 Januari 2000. Menurut catatan Tim Investigasi Pos Keadilan Peduli Ummat, 688 orang tewas dan 1.500 dinyatakan hilang.

Tragedi pembantaian di Tobelo ini, bermula ketika Sinode GMIH (Gereja Masehi Injil di Halmahera) mengkoordinir pengungsian umat Kristen ke Tobelo, yang jumlahnya mencapai 30.000 orang, yang dilakukan secara bertahap, sejak pertengahan November hingga awal Desember 1999. Puncaknya, pada Jumat 24 Desember 1999 malam (menjelang Hari Natal 25 Desember 1999) dengan beberapa buah truk, telah diangkut ratusan warga Kristen dari Desa Leleoto, Desa Paso dan Desa Tobe ke Tobelo. Dengan alasan untuk pengamanan gereja. Warga Kristen yang diangkut tersebut menggunakan atribut lengkap (seolah-olah mau perang), seperti kain ikat kepala berwarna merah, tombak, parang dan panah.

Mengetahui gelagat yang kurang baik dari warga Kristen tersebut, umat Islam Tobelo mulai merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Saat itu umat Islam sedang dalam suasana menjalankan ibadah shaum ramadhan. Akhirnya pada 26 Desember 1999, pecahlah pembantaian yang dikesankan adanya kerusuhan, konflk horizontal. Padahal, sebelumnya tidak ada konflik apa-apa. Tragedi ini konon dipicu oleh adanya persoalan sepele berupa pelemparan batu terhadap rumah milik Chris Maltimu seorang purnawirawan polisi. Rupanya pelemparan terhadap rumah Chris Maltimu itu dijadikan trigger untuk aksi pembantaian yang sudah dirancang sebelumnya.

Menurut Ode Kirani, warga muslim dari desa Togoliwa, kecamatan Tobelo, Halmahera, pada 27 Desember 1999, saat warga desa sedang menjalankan ibadah puasa, tanpa diduga sebelumnya ribuan masa kristen yang berasal dari desa tetangga (antara lain, Telaga Paca, Tobe, Tomaholu, Yaro, dan lain-lain) menyerang desa Togoliwa di saat subuh. Akibat serangan mendadak tersebut ribuan warga muslim di desa tersebut menemui ajal. Kebanyakan dari mereka terbunuh saat berlindung di masjid. (Ambon, Laskarjihad.or.id 16 03 2001).

Rabu, 29 Desember 1999, di Mesjid Al Ikhlas (Kompleks Pam) tempat diungsikanya para ibu dan anak-anak, terjadi pembantaian terhadap sekitar 400 (empat ratus) jiwa. Menurut penuturan saksi mata, ada korban yang sempat jatuh dicincang dan dijejerkan kepala mereka di ruas jalan. Ada juga beberapa wanita yang dibawa ke Desa Tobe (sekitar 9 KM ) dari Desa Togoliwa, kemudian dikembalikan dalam keadaan telanjang. Modus operasi yang dilakukan oleh kelompok merah mula-mula melakukan pemboman kemudian dilanjutkan dengan pembakaran, sehingga tidak ada satu pun yang lolos dari sasaran mereka.

Menurut sebuah sumber, total korban di Tobelo dan Galela mencapai 3000 jiwa, 2800 di antaranya Muslim. Namun demikian, angka yang diakui Max Marcus Tamaela yang kala itu menjabat sebagai Pangdam Pattimura adalah 771 jiwa. Meski angka itu masih jauh dari kenyataan, namun masih jauh lebih banyak dibanding dengan angka yang diakui Gus Dur yaitu ‘hanya’ lima orang saja.

Ketika pembantaian Tobelo terjadi, Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI. Bila menurut penglihatannya korban Tobelo-Galela hanya lima orang saja, kita harus maklum. Karena, pertama, Gus Dur itu pembela kaum minoritas. Kedua, penglihatannya memang terganggu. Kala itu, Menkopolkam dijabat oleh Wiranto, dan Panglima TNI dijabat oleh Widodo AS. Sayangnya, posisi mereka saat itu tidak bisa memperbaiki kualitas penglihatan Gus Dur terhadap kasus pembantaian umat Islam di sana. Padahal mereka juga beragama Islam.

Hajjah Aisyah Aminy, SH, yang kala itu menjabat sebagai anggota Komnas HAM, menyesalkan sikap aktivis LSM yang selama ini dikenal sebagai pejuang keadilan masyarakat, namun membisu ketika umat Islam yang jadi korban. Aisyah juga menyesalkan sikap media massa yang kurang antusias memberitakan peristiwa di Maluku itu. Tapi kalau yang mati adalah teman mereka sendiri, meski hanya satu orang seperti Munir, mereka heboh bukan main dengan membawa-bawa alasan pelanggaran HAM sampai ke hadapan Bush segala.

Bila kita mendasarkan pada angka yang diakui Tamaela, yaitu 771 jiwa, jumlah itu pun masih jauh lebih banyak dari korban Bom Bali Pertama dan Kedua. Apalagi bila ditambah dengan korban pembantaian yang dilakukan Tibo cs terhadap warga pesantren Walisongo, jumlah koran Bom Bali secara keseluruhan masih jauh lebih kecil. Namun perhatian dunia, kalangan LSM, kalangan pers, dan pemerintah Indonesia sendiri, kurang hirau bahkan cenderung mengabaikan korban Tobelo-Galela dan Poso (termasuk warga Pesantren Walisongo)



Pembantaian Di Pesantren Walisongo

Pembantaian terhadap warga Pesantren Walisongo, merupakan rangkaian dari kekejaman serial yang terjadi di Poso. Kasus Poso sendiri sudah terjadi sejak 25 Desember 1998, di saat-saat umat Islam sedang menjalankan ibadah Shaum Ramadhan 1419 H. Sedangkan pembantaian terhadap warga pesantren Walisongo, berlangsung pada hari Minggu tanggal 28 Mei 2000. Hidayatullah.com dalam salah satu laporannya menuliskan:



Puluhan warga Pesantren Walisongo itu dibariskan menghadap Sungai Poso. Mereka dihimpun dalam beberapa kelompok yang saling terikat. Ada yang tiga orang, lima, enam atau delapan orang. Para pemuda digabungkan dengan pemuda dalam satu kelompok. Tangan mereka semua terikat ke belakang dengan kabel, ijuk, atau tali rafiah yang satu dengan lainnya saling ditautkan.

Sebuah aba-aba memerintahkan agar mereka membungkuk. Secepat kilat pedang yang dipegang para algojo haus darah itu memenggal tengkuk mereka. Bersamaan dengan itu, terdengar teriakan takbir. Ada yang kepalanya langsung terlepas, ada pula yang setengah terlepas. Ada yang anggota badannya terpotong, ada pula badannya terbelah. Darah segarpun muncrat. Seketika itu pula tubuh-tubuh yang tidak berdosa itu berjatuhan ke sungai.

Bersamaan dengan terceburnya orang-orang yang dibantai itu, air sungai Poso yang sebelumnya bening berubah warna menjadi merah darah. Sesaat tubuh orang-orang yang dibantai itu menggelepar meregang nyawa sambil mengikuti aliran sungai. Tidak semuanya meninggal seketika, masih ada yang bertahan hidup dan berusaha menyelamatkan diri. Namun regu tembak siap menghabisi nyawa korban sebelum mendapatkan ranting, dahan, batang pisang, atau apapun untuk menyelamatkan diri.

Itulah salah satu babak dalam tragedi pembantaian ummat Islam di Poso, Sulawesi Tengah beberapa waktu lalu. Warga Pesantren Walisongo merupakan salah satu sasaran yang dibantai. Di komplek pesantren yang terletak di Desa Sintuwulemba, Kecamatan Lage, Poso ini tidak kurang 300-an orang yang tinggal. Mulai dari ustadz, santri, pembina, dan istri pengajar serta anak-anaknya.

Tidak satupun orang yang tersisa di komplek pesantren itu. Sebagian besar dibantai, sebagian lainnya lari ke hutan menyelamatkan diri. Bangunan yang ada dibakar dan diratakan dengan tanah. Pesantren Poso hanya tinggal puing-puing belaka.



Dari tragedi pembantaian ini, aparat menetapkan tiga tersangka utama Fabianus Tibo (saat itu berusia 60), Dominggus da Silva (saat itu berusia 39), dan Marinus Riwu (saat itu berusia 48). Ketiganya menjalani hukuman mati secara serentak pada tanggal 22 September 2006, Jumat dinihari pukul 01.45 WITA. Eksekusi mati dilaksanakan di Desa Poboya, Palu Selatan oleh tiga regu tembak Brimob Polda Sulawesi Tengah.



Sebelum dieksekusi mati, Tibo cs pernah mengungkapkan peranan 16 tokoh penting Poso dan keterlibatan Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) yang berpusat di Tentena –kota kecil di tepian Danau Poso– secara langsung dalam kerusuhan Poso. Sayangnya, hingga kini mereka yang memegang jabatan di Majelis Sinode tidak pernah diperiksa polisi.



Sebuah lembaga penegakan syari’ah pada hari Rabu tanggal 14 Desember 2005, pernah mewawancarai Fabianus Tibo di Lembaga Pemasyarakatan Fetobo, dan mentranskrip pernyataan Tibo perihal keterlibatan orang-orang penting di belakang tragedi pembantaian Poso, sebagai berikut:

Supaya bapak-bapak bisa tahu bahwa inilah yang sebenarnya. Kenapa dari dulu semua pengacara kami tutup, tidak bisa kami mengungkapkan semuanya, kami tidak boleh bicara.

Sampai di kantor pengadilan pun tidak bisa kami berbicara, selalu ditekan terus. Kenapa? Karena mereka takut, karena ada yang kami akan ungkapkan semuanya itu.

Jadi, saya ingin ungkapkan, supaya bapak-bapak tahu, kenapa saya harus berada di Poso.

Karena Yanis Simangunsong, mungkin bapak-bapak sudah tahu itu nama 16 orang, Yanis Simangunsong yang datang ke Beteleme, waktu itu belum Kabupaten, masih Kecamatan Lepo. Jadi, Yanis datang ke rumah saya dia katakan, “Om, Gereja dengan Suster, Pastur, dengan anak sekolah di sana orang Islam akan bunuh semua.”

Lalu saya katakan, “Bahasamu itu kamu bisa bertanggungjawab, kalau tidak benar saya lapor polisi.” Dia katakan, “Ya, kalau om percaya atau tidak ya terserah. Tetapi saya yang katakan itu benar.”

Apa yang terjadi? Karena dia provokasi seluruh orang yang ada –sekarang sudah kabupaten ya– di Kabupaten Morowali, mulai dari Beteleme Kolongale sampai Wuku (?). Dimana di situ ada umat Kristen, di situlah Yanis Simangunsong provokasi, sehingga di sana hampir tejadi di pasar Beteleme waktu itu, karena dengan provokasinya, sehingga apa, Islam yang ada di pasar Beteleme ketakutan yang lain lari.

Selain Yanis Simangunsong, beberapa nama yang termasuk ke dalam 16 tokoh penting yang berperanan penting terhadap terjadinya pembantaian di Poso, sebagaimana disebutkan Tibo adalah: L Tungkanan, Eric Rombot, Mama Wanti, Luther Maganti, Drs. J. Santo, J. Kambotji, Drs. Sawer Pelima, Pendeta Renaldy Damanik, Paulus Tungkanan, Angki Tungkanan, Lempa Deli, Yahya Patiro (mantan Sekab Poso). Mantan Bupati Poso dua periode (1974-1984) Letkol Purn Drs. R.P.M.H Koeswandhi, Sth yang kini berdomisili di Jakarta, diduga ikut bermain api dan memanaskan situasi.

Tibo cs juga pernah menyebut beberapa nama yang disebutnya dengan panggilan “jenderal” seperti jenderal H, jenderal R dan jenderal T. Jenderal H menurut pengakuan Tibo cs berperan sebagai aktor intelektual di balik pertikaian berdarah di Poso. Sebagaimana dikatakan oleh Kaditserse Polda Sulteng (ketika itu) Superintendent Andi Ahmad Abdi, sesuai pemeriksaan terhadap Tibo dkk, ia membenarkan nama “H” disebut-sebut sebagai salah seorang konseptor penyerangan kantong-kantong permukiman muslim di lima kecamatan dalam wilayah Kabupaten Poso, termasuk di Kota Poso sendiri (lihat Antara 9 Agustus 2000, juga Kompas 10 Agustus 2000).



Dukungan Untuk Tibo cs dan Tekanan Vatikan

Sebelum akhirnya dieksekusi, Tibo cs mendapat dukungan luas dari dalam dan luar negeri. Semula, pelaksanaan hukuman mati atas Tibo cs direncanakan berlangsung Sabtu dinihari, tanggal 12 Agustus 2006 pukul 00.15 waktu setempat. Namun karena adanya surat tekanan Vatikan itu, eksekusi mati ditunda hingga 22 September 2006. Sebagaimana diakui Wakil Presiden Muhamad Jusuf Kalla, bahwa pada 12 Agustus 2006 ada surat dari Paus Benediktus XVI dan surat dari sejumlah uskup yang meminta Tibo cs tidak dieksekusi.

Faktanya, menjelang eksekusi mati Tibo cs memang banyak bermunculan berbagai suara yang berusaha menghalang-halangi dilaksanakannya ekesekusi mati bagi Tibo cs yang secara sadis dan biadab telah membantai komunitas Muslim Poso, khususnya warga Pesantren Walisongo Desa Sintuwulemba, Kecamatan Lage. Mereka memposisikan Tibo cs seolah-olah sebagai korban kesesatan hukum, korban kesesatan peradilan, sehingga dengan lantang mereka menyuarakan penolakan eksekusi mati atas Tibo dkk. Mereka sama sekali tidak pernah menyinggung para korban yang telah dibantai secara sadis, terencana, dan biadab.

Aloys Budi Purnomo, Rohaniwan dan Pemimpin Redaksi Majalah INSPIRASI yang berpusat di Semarang, mengungkapkan isi hatinya berupa opini, bahwa “…Kasus yang menjerat Tibo cs memang penuh dengan kontroversi ketidakadilan. Mereka menjadi korban peradilan yang sesat. Mereka menjadi tumbal ketidakadilan dan proses hukum yang inskonstitusional…” (Kompas, Sabtu, 23 September 2006).

Tokoh intelektual umat Katolik Indonesia Frans Magnis Suseno saat mengunjungi Tibo dkk di Lembaga Permasyarakatan Kelas II A Palu (pertengahan April 2006) mengatakan, pemerintah Indonesia tidak boleh gegabah mengeksekusi Tibo dkk karena saat ini banyak pertimbangan yang muncul yang menunjukkan adanya kemungkinan bahwa Tibo dkk tidak bersalah. Frans juga mengatakan, aparat hukum tidak dapat melakukan eksekusi hanya karena semua prosedur hukum telah dijalani oleh Tibo dkk.

Gus Dur salah satu tokoh sepilis (sekulersime, pluralisme agama, dan liberalisme), bersuara sama dengan Theo Sambuaga (tokoh Golkar) dan Pendeta Nico Gara dari Universitas Kristen Indonesia (UKI) Tomohon. Mereka antara lain mengatakan, Tibo cs merupakan saksi mahkota, bila dieksekusi, maka mata rantainya putus. Theo Sambuaga menambahkan, jika Tibo sudah dieksekusi, sedangkan novum itu betul bahwa mereka bukan dalang kerusuhan Poso, akibatnya akan sangat fatal dari segi hukum dan penegakan hak asasi manusia (HAM). Oleh karena menurut Akbar Tandjung, sebaiknya eksekusi terhadap Tibo dan dua kawannya ditunda demi kepentingan mengungkap aktor intelektual yang sebenarnya dalam peristiwa kerusuhan Poso. Aktor intelektual yang dimaksud adalah sejumlah 16 nama yang pernah dinyatakan secara sepihak oleh Tibo sebagai aktor utama.

Mereka sama sekali tidak pernah berada di sisi korban yang telah dianiaya sedemikian rupa. Pernahkah mereka menyantuni para janda korban pembantaian Tibo dkk? Sama sekali tidak! Ini menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang mendukung kekejaman, mendukung kebiadaban, mendukung perbuatan barbar, mendukung upaya-upaya yang berorientasi disintegratif.

Cobalah perhatikan, mereka yang dulu menolak hukuman mati terhadap Tibo cs dengan dalih “kematian merupakan hak Tuhan” dan berbagai dalih lainnya, sudah bisa dipastikan tidak akan bersuara apa-apa ketika rencana eksekusi mati terhadap pelaku Bom Bali direalisasikan. Justru, mereka cenderung mendorong pemerintah secepatnya melaksanakan eksekusi tersebut. Bahkan ada yang secara emosional berpendapat, “bila perlu termasuk keluarganya sekalian dihukum mati.” Standar ganda seperti itu memang perilaku khas mereka, orang-orang yang sok demokratis, orang-orang yang sok humanis, dan sok moralis. Hipokrit.



Kasus Corby dan Bali Nine

Australia juga menganut standar ganda, misalnya dalam kasus Schapelle Leigh Corby, gadis warga negara Australia yang ditangkap di Bandara Ngurah Rai Bali pada 8 Oktober 2004 karena di dalam tasnya terdapat 4,2 kg mariyuana.

Ketika memasuki tahapan persidangan, pemerintah Australia meminta agar kepada Corby tidak dijatuhi hukuman mati. Beberapa hari sebelum sidang Corby, tampak lilitan pita warna hijau muda di pohon-pohon pinus sepanjang jalan di depan gedung Pengadilan Negeri Denpasar, sebagai dukungan moral kepada Corby.

Di tahun 2005 (tepatnya tanggal 17 April), sembilan orang penyelundup heroin seberat 8,3 kilogram ditangkap di Denpasar, Bali. Tiga di antaranya warga Australia. Mereka menjadikan Bali sebagai tempat transit sebelum bertolak ke Australia. Kasus ini dikenal dengan sebutan The Balinine.

Senin 11 Agustus 2008 lalu, Stephen Smith (Menteri Luar Negeri Australia) menjumpai Menteri Luar Negeri Hasan Wirayudha di Jakarta. Salah satu tujuannya adalah melobi pemerintah Indonesia untuk memberikan pengampunan terhadap tiga terpidana mati warga negara Australia yang tersangkut kasus The Bali Nine.

Pemerintah Australia tidak setuju hukuman mati diberlakukan terhadap diri warganya, meski jelas terbukti menyelundupkan heroin. Namun sikap itu belum tentu tertuju kepada selain warga negaranya. Pada satu sisi mereka berargumentasi menolak hukuman mati (atas warganya), namun mereka pada sisi lain justru mendorong dilaksanakannya hukuman mati untuk Amrozi cs (pelaku Bom Bali).

Sebelum bertolak ke Jakarta, Stephen Smith sehari sebelumnya (10 Agt 2008) diwawancarai Sydney Morning Herald. Ketika itu ia mengatakan, “… ketika warga Australia di luar negeri dihukum karena melakukan kejahatan kemudian dipidana mati, maka kami akan melakukan upaya representasi atas nama warga negera Australia. Namun, ketika hukuman tersebut dijatuhkan kepada non warga Australia, maka kami akan melakukan penilaian secara kasuistik.”



Kebohongan Corby

Pada tahun 2004-2005, pada saat kasus Corby mulai ditangani aparat keamanan dan hukum Indonesia, media cetak dan elektronika Australia melalui pemberitaannya berupaya sedemikian rupa membentuk opini bahwa Corby tidak bersalah. Cara-cara mereka sama persis dengan para pendukung Tibo cs ketika mereka memberikan pembelaan agar Tibo cs tidak dihukum mati.

Akibat pemberitaan media cetak dan elektronik Australia yang membela Corby, maka KBRI Canberra dan kantor-kantor perwakilan RI lainnya menjadi sasaran kekesalan warga Australia. Beberapa bentuk kekesalan dari simpatisan Corby ketika itu diekspresikan berupa mengirimkan paket berisi “serbuk putih” yang sempat menghebohkan aparat keamanan dan diplomat RI di KBRI Canberra. Selain itu, terjadi berbagai bentuk vandalisme terhadap properti milik KJRI Sydney. Bahkan, Konsulat RI di Perth, Australia Barat, menerima surat bertuliskan tangan yang berisi ancaman: “Jika Schapelle Corby tidak segera dibebaskan, anda semua akan menerima setiap peluru ini menembus otak.”

Saat itu opini publik Australia memang masih amat sangat berpihak kepada Corby. Namun beberapa tahun kemudian, 22 Juni 2008, stasiun TV Channel Nine di Australia mulai membuka tabir kebohongan Corby. Ratapan memelas Corby saat memasuki tahapan proses persidangan, yang selama ini menjadi sumber dukungan masyarakat Australia, ternyata merupakan rekayasa semata.

Channel Nine selama tiga setengah tahun membuat film dokumenter berjudul Schapelle Corby: The Hidden Truth, dengan durasi 120 menit. Ternyata, menurut film dokumenter itu, ucapan memelas Corby yang berhasil menarik simpati publik Australia selama bertahun-tahun itu, merupakan sesuatu yang direkayasa sedemikian rupa oleh Corby ketika ia dikunjungi Ron Bakir, pendukung setianya saat itu. Bahkan melalui kamera tersembunyi, tim peliput Channel Nine berhasil merekam sebuah adegan ketika Corby sedang berlatih mengucapkan kata-kata memelas itu: “Help me… Help me Australia!”

Juli 2008, misteri kepemilikan 4,2 kg mariyuana yang ditemukan petugas Indonesia di dalam sarung tas papan selancar Schapelle Corby pada tahun 2004 lalu itu, mulai terkuak jelas. Ternyata, pemiliknya adalah Michael Corby, ayah Schapelle Leigh Corby sendiri.

Sepupu ayah Corby, Alan Trembath, mengungkapkan bahwa Michael Corby pernah menawarkan dirinya bisa mendapat imbalan sebesar 80 ribu dolar Australia jika bersedia menyelundupkan mariyuana ke Bali dengan kapal pesiar. Trembath juga mengungkapkan, keterlibatan Michael Corby dalam urusan perdagangan dan penyelundupan mariyuana sudah berlangsung sejak tahun 1980-an. Oleh karenanya, Trembath punya keyakinan kuat tentang keterlibatan Schapelle Corby dalam kasus penyelundupan mariyuana ke Bali di tahun 2004, karena sepanjang hidupnya Schapelle Corby sudah akrab dengan bisnis mariyuana yag dijalankan ayahnya.

Jika keluarga Corby sudah memulai bisnis haram itu sejak tahun 1980-an dan baru tertangkap di tahun 2004, berarti sudah sekitar dua dasawarsa mereka berkecimpung di bisnis haram ini. Bisa dibayangkan, berapa banyak generasi muda kita yang telah menjadi korban keluarga Corby melalui bisnis mariyuananya. Jumlahnya boleh jadi jauh lebih banyak dari korban Bom Bali.

Kemungkinan besar keluarga Corby hanyalah salah satu saja dari pelaku bisnis haram asal Australia. Tentu masuk akal bila ada yang menduga masih banyak “Corby-corby” lain yang hingga kini belum tertangkap. Pertanyaannya: “Berapa banyak korban mariyuana yang dihasilkan oleh mereka sepanjang dua atau tiga dasawarsa ini?” Tentu jumlahnya jauh lebih banyak dari korban Bom Bali.

Bila ada satu saja warga Australia terancam hukuman mati, pemerintah dan masyarakatnya langsung tampil memberikan dukungan dan pembelaan. Tapi bila ada ratusan pemuda kita yang mati secara fisik dan “mati” secara psikis akibat narkoba yang diselundupkan warga Australia, pemerintah dan masyarakat kita diam saja. Malahan makhluk sejenis “Corby” ini cenderung dimanjakan karena diposisikan sebagai turis yang menghasilkan devisa. Selain korban narkoba, masih ada korban lain yaitu korban kebuasan nafsu pengidap paedhophilia. Berapa banyak tunas bangsa kita menjadi korban pengidap paedophilia di Bali, di Yogyakarta, dan kota-kota wisata lainnya? Pastinya, jauh lebih banyak dari korban Bom Bali. (haji/tede/mua)

Diambil dari http://www.nahimunkar.com/?p=161

Posted by: Agung Prabowo | November 7, 2008

Konspirasi dalam Demokrasi dan Pemilu

…ia menciptakan berbagai bentuk partai dan organisasi yang berbakti pada Freemason Alam Semesta. Ia pun memainkan peranan yang besar di dalam pemilihan umum-pemilihan umum pada sebagian besar negara di dunia ini dengan cara-cara terselubung. [Muhammad Fahim Amin, RAHASIA GERAKAN FREEMASONRY DAN ROTARY CLUB, halaman 26]

The second one, though, is made up of the happenings that are not revealed to the public. This is the world of the machinations by secret lodges and secret societies which interlink capital, politics, economy and religion. On this level nations are made, wars are instigated, presidents and leaders are put in office and, in case they don’t function, eliminated. [Jan van Helsing, SECRET SOCIETIES AND THEIR POWER IN 20th CENTURY, halaman 21]

Basically since there are only TWO possible choices in a so-called U.S. “democratic” election and since the Illuminati with their untold wealth CONTROL BOTH the Democrat and Republican parties, it really doesn’t matter who wins the election THE ILLUMINATI RULE!!! So if the Illuminati have the money and the power to “rig” every election, why would they go through so much trouble to get their CHOSEN CANDIDATE elected, since it doesn’t matter which candidate wins for the Illuminati to keep their power? Why don’t we ask them? [Michael Shore, THE ILLUMINATI ALWAYS WIN THE ‘ELECTION’, http://www.rense.com/general59/WIN.HTM%5D

Political freedom is an idea but not a fact. This idea one must know how to apply whenever it appears necessary with this bait of an idea to attract the masses of the people to one’s party for the purpose of crushing another who is in authority. This task is rendered easier of the opponent has himself been infected with the idea of freedom, so-called liberalism, and, for the sake of an idea, is willing to yield some of his power. It is precisely here that the triumph of our theory appears; the slackened reins of government are immediately, by the law of life, caught up and gathered together by a new hand, because the blind might of the nation cannot for one single day exist without guidance, and the new authority merely fits into the place of the old already weakened by liberalism. [Protocols of Zion, Protocols I point 6]

We shall assume to ourselves the liberal physiognomy* of all parties, of all directions, and we shall give that physiognomy a voice in orators who will speak so much that they will exhaust the patience of their hearers and produce an abhorrence of oratory. [Protocols of Zion, Protocols V point 9]

When we have accomplished our coup d’etat we shall say then to the various peoples: “Everything has gone terribly badly, all have been worn out with suffering. We are destroying the causes of your torment—nationalities, frontiers, difference of coinages. You are at liberty, of course, to pronounce sentence upon us, but can it possibly be a just one if it is confirmed by you before you make any trial of what we are offering you.” . . . Then will the mob exalt us and bear us up in their hands in a unanimous triumph of hopes and expectations. Voting, which we have made the instrument which will set us on the throne of the world by teaching even the very smallest units of members of the human race to vote by means of meetings and agreements by groups, will then have served its purposes and will play its part then for the last time by a unanimity of desire to make close acquaintance with us before condemning us. [Protocols of Zion, Protocols X point 4]

To secure this we must have everybody vote without distinction of classes and qualifications, in order to establish an absolute majority, which cannot be got from the educated propertied classes. In this way, by inculcating in all a sense of self-importance, we shall destroy among the goyim the importance of the family and its educational value and remove the possibility of individual minds splitting off, for the mob, handled by us, will not let them come to the front nor even give them a hearing; it is accustomed to listen to us only who pay it for obedience and attention. In this way we shall create a blind, mighty force which will never be in a position to move in any direction without the guidance of our agents set at its head by us as leaders of the mob. The people will submit to this regime because it will know that upon these leaders will depend its earnings, gratifications and the receipt of all kinds of benefits. [Protocols of Zion, Protocols X point 5]

In the near future we shall establish the responsibility of presidents. [Protocols of Zion, Protocols X point 11]

In order that our scheme may produce this result we shall arrange elections in favor of such presidents as have in their past some dark, undiscovered stain, some “Panama” or other—then they will be trustworthy agents for the accomplishment of our plans out of fear of revelations and from the natural desire of everyone who has attained power, namely, the retention of the privileges, advantages and honor connected with the office of president. The chamber of deputies will provide cover for, will protect, will elect presidents, but we shall take from it the right to propose new, or make changes in existing laws, for this right will be given by us to the responsible president, a puppet in our hands. Naturally, the authority of the presidents will then become a target for every possible form of attack, but we shall provide him with a means of self-defense in the right of an appeal to the people, for the decision of the people over the heads of their representatives, that is to say, an appeal to that some blind slave of ours—the majority of the mob. Independently of this we shall invest the president with the right of declaring a state of war. We shall justify this last right on the ground that the president as chief of the whole army of the country must have it at his disposal, in case of need for the defense of the new republican constitution, the right to defend which will belong to him as the responsible representative of this constitution. [Protocols of Zion, Protocols X point 13]

Menjelang Pemilu 2009 ini, saya banyak ditanya tentang demokrasi dan pemilu? Ada juga beberapa email yang meminta saya menghapus salah satu blog dari daftar SITUS-SITUS TEMAN blog ini, karena dikhawatirkan saya dianggap pendukung salah satu Parpol (Partai Politik), eh Pardak (Partai Dakwah) yang sangat kental mewarnai blog tersebut. Saya memang tidak menghapusnya karena pemilik blog tersebut merupakan salah satu kawan akrab saya, meski kami berbeda haluan, bahkan mungkin bertolak belakang dalam menyikapi demokrasi, sebuah sikap yang seharusnya bisa dimaklumi karena demokrasi menjamin kebebasan seseorang untuk berpendapat.

Artikel ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu pertama tentang demokrasi, kedua tentang pemilu, dan ketiga, tentang konspirasi dalam masalah demokrasi dan pemilu, sesuai dengan pandangan saya yang didukung berbagai referensi yang bisa mendukung saya yang mungkin bisa dibilang anti demokrasi, sedangkan untuk referensi dari pendukung demokrasi, saya anggap tak perlu. Demokrasi (yang diterapkan secara kaffah, bukan setengah-setengah) menjamin dan melindungi pilihan saya ini, tidak perlu melakukan cover both-sides untuk bersuara, karena pemilu pun tidak mensyaratkan orang yang cukup paham politik untuk memberikan suaranya. Semoga dimaklumi. Jikapun ada yang memandang saya Hipokrit karena anti demokrasi tapi bersuara dalam jaminan demokrasi, ya itu wajar-wajar saja, siapapun boleh ngomong semaunya dalam suasana yang demokratis ini.

BAGIAN PERTAMA: DEMOKRASI

Demokrasi katanya berasal dari bahasa Yunani Demos dan Kratos/Kratein, dan sejak SD (kalau belum diubah) selalu diberikan definisi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Bagi yang Islam (maaf bagi yang non muslim, tapi saya menyatakan ini karena demokrasi bisa juga berarti suara mayoritas, jadi jangan tersinggung ya…), tolong cek apakah ini bukan sebuah bentuk kesesatan karena sepanjang pengetahuan saya, manusia dalam kehidupannya di dunia ini harus mengikuti perintah Alloh (dari Alloh), dengan cara yang disampaikan-Nya kepada Umat-Nya melalui Nabi-Nya (sederhananya saya sebut “oleh Alloh”), dan bertujuan untuk menggapai ridho Alloh serta dikembalikan pertanggunggjawabannya pada Alloh pada pengadilan di Yaumil Hisab nanti (sederhananya saya sebut “untuk Alloh”). Itu yang gampangnya saya pahami kenapa kita dilahirkan di dunia ini.

Demokrasi sejak lama menjadi bulan-bulanan baik orang Islam maupun orang kafir. Jika saya mengutip pendapat ulama-ulama anti demokrasi, saya agak khawatir nanti blog ini dibilang blog wahhabi, blog salaf, blog islam fundamentalis/radikal (yang sebenarnya saya pengen banget), karena itu disini saya akan menunjukkan kutipan-kutipan dari orang non-Muslim yang juga tentu saja anti demokrasi sebagai berikut: [diambil dari situs http://www.liberty-page.com/quotes/dem.html%5D

“We are now forming a Republican form of government. Real Liberty is not found in the extremes of democracy, but in moderate governments. If we incline too much to democracy, we shall soon shoot into a monarchy, or some other form of dictatorship.”–Alexander Hamilton

“…democracies have ever been spectacles of turbulence and contention; have ever been found incompatible with personal security or the rights of property; and have in general been as short in their lives as they have been violent in their deaths.”–James Madison, Federalist No. 10 (arguing in favor of a constitutional republic)

“Remember, democracy never lasts long. It soon wastes, exhausts, and murders itself. There never was a democracy yet that did not commit suicide.”— John Adams, 1814

“The adoption of Democracy as a form of Government by all European nations is fatal to good Government, to liberty, to law and order, to respect for authority, and to religion, and must eventually produce a state of chaos from which a new world tyranny will arise.”— Duke of Northumberland, 1931

“Between a balanced republic and a democracy, the difference is like that between order and chaos.”— John Marshall, Chief Justice of the Supreme Court

“I have long been convinced that institutions purely democratic must, sooner or later, destroy liberty or civilization, or both.”— Thomas Babington Macaulay

“A democracy cannot exist as a permanent form of government. It can only exist until a majority of voters discover that they can vote themselves largess out of the public treasury.”— Alexander Tytler

“Democracy is a form of worship. It is the worship of jackals by jackasses.”— H.L. Mencken

“It had been observed that a pure democracy if it were practicable would be the most perfect government. Experience had proved that no position is more false than this. The ancient democracies in which the people themselves deliberated never possessed one good feature of government. Their very character was tyranny; their figure deformity.”— Alexander Hamilton

“Democracy is the art of running the circus from the monkey cage.”— H.L. Mencken

Democracy means simply the bludgeoning of the people by the people for the people.”— Oscar Wilde

“Any political party that includes the word ‘democratic’ in its name, isn’t.”— Patrick Murray

“Democracy is a pathetic belief in the collective wisdom of individual ignorance.”— H.L. Mencken

“If we advert to the nature of republican government, we shall find that the censorial power is in the people over the government, and not in the government over the people.”— James Madison

“The one pervading evil of democracy is the tyranny of the majority, or rather of that party, not always the majority, that succeeds, by force or fraud, in carrying elections.”— Lord Acton

“Democracy substitutes election by the incompetent many for appointment by the corrupt few.”— George Bernard Shaw

“All the civilizations we know have been created and directed by small intellectual aristocracies, never by people in the mass. The power of crowds is only to destroy.”— Jean de la Fontaine, Fables (1668)

“If all mankind minus one were of one opinion, and only one person were of the contrary opinion, mankind would be no more justified in silencing that one person, than he, if he had the power, would be justified in silencing mankind.”— John Stuart Mill, On Liberty (1859)

“It is bad to be oppressed by a minority, but it is worse to be oppressed by a majority…from the absolute will of an entire people there is no appeal, no redemption, no refuge but treason.”— Lord Acton

“The people as a body cannot deliberate. Nevertheless, they will feel an irresistible impulse to act, and their resolutions will be dictated to them by their demagogues… and the violent men, who are the most forward to gratify those passions, will be their favorites. What is called the government of the people is in fact too often the arbitrary power of such men. Here, then, we have the faithful portrait of democracy.”— Fisher Ames, The Dangers of American Liberty (1805)

“The tendencies of democracies are, in all things, to mediocrity, since the tastes, knowledge, and principles of the majority form the tribunal of appeal.”— James Fenimore Cooper, The American Democrat (1838)

See? Bukan cuma orang Salaf dan Wahhabi (seperti tuduhan orang-orang picik yang anti 2 kelompok itu, bahkan sering menyandingkannya dengan kelompok teroris) saja yang tidak bisa menerima demokrasi. Selain itu, demokrasi ternyata juga bukan cuma ada satu macam, tapi bermacam-macam (di buku Sejarah SD sampai SMA saya kayaknya kok belum pernah saya baca ya, hehehe… Hayo departemen pendidikan nasional, direvisi bukunya hayo…), berikut ini daftar tipe-tipe demokrasi yang terdaftar di Wikipedia sampai saya download tanggal 20 Oktober 2008 lalu:

Anticipatory democracy, which relies on some degree of disciplined and usually market-informed anticipation of the future, to guide major decisions.

Athenian democracy (sometimes called classical democracy), as originally developed in the Classical Greek city-state of Athens.

Bioregional democracy, matching geopolitical divisions to natural ecological regions.

Constitutional democracy, democracy governed by a constitution.

Defensive democracy, a situation in which a democratic society has to limit some rights and freedoms in order to protect the institutions of the democracy.

Deliberative democracy, which focuses on hearing out every policy alternative, from every direction, and providing time to research them all.

Demarchy, a form of democracy which has people randomly selected from the citizenry to either act as representatives, or to make decisions in specific areas of governance (defense, environment, etc.)

E-democracy, which comprises the use of electronic communications technologies, such as the Internet, in enhancing democratic processes within a democratic republic or representative democracy.

Emergent democracy, a social system in which blogging undermines mainstream media.

Democratic centralism, an organizational method where members of a political party discuss and debate matters of policy and direction and after the decision is made by majority vote, all members are expected to follow that decision in public.

Democratic dictatorship Also known as democratur.

Direct democracy, implementations of democracy in more pure forms; classically termed pure democracy.

Dominant-party system, a Democratic Party system where only one political party can realistically become the government, by itself or in a coalition government.

Economic democracy, a theory of democracy involving people having access to subsistence, or equity in living standards.

Grassroots democracy, a form of democracy emphasizing trust in small decentralized units at the municipal government level, possibly using urban secession to establish the formal legal authority to make decisions made at this local level binding.

Illiberal democracy, a type of representative democracy where there are no or only weak limits on the power of the elected representatives to rule as they please.

Interactive Democracy, a proposed form of democracy utilising information technology to allow citizens to propose new policies, “second” proposals and vote on the resulting laws (that are refined by Parliament) in a referendum.

Jacksonian democracy, a form of democracy popularized by President Andrew Jackson promoted the strength of the executive branch and the Presidency at the expense of Congressional power.

Jeffersonian democracy, a form of government named for American statesman Thomas Jefferson.

Liberal democracy, a form of representative democracy with protection for individual liberty and property by rule of law.

Market democracy, another name for democratic capitalism, an economic ideology based on a tripartite arrangement of a market-based economy based predominantly on economic incentives through free markets, a democratic polity and a liberal moral-cultural system which encourages pluralism.

Multiparty democracy, a two-party system requires voters to align themselves in large blocs, sometimes so large that they cannot agree on any overarching principles.

New Democracy, a Maoist concept based on Mao Zedong’s “Bloc of Four Classes” theory in post-revolutionary China.

Non-partisan democracy, a system of representative government or organization such that universal and periodic elections (by secret ballot) take place without reference to political parties.

Parliamentary democracy, a democratic system of government where the executive branch of a parliamentary government is typically a cabinet, and headed by a prime minister who is considered the head of government.

Participatory democracy, which involves consent or consensus decision making and offers greater political representation, e.g., wider control of proxies others trust them with, to those who get directly involved and actually participate.

Radical democracy, a type of democracy that focuses on the importance of nurturing and tolerating difference and dissent in decision-making processes.

Religious democracy, the values of religion play a role in the public arena in a society populated by religious people.

Republican democracy, a republic which has democracy through elected representatives

Representative democracy describes indirect democracy where sovereignty is held by the people’s representatives.

Social democracy, a political philosophy that calls upon government to be for the people. In contrast to Socialists, modern Social Democrats do not believe in nationalizing industry

Sociocracy, a democratic system of governance based on consent decision making, circle organization, and double-linked representation.

Sortition, a democratic method of choosing political and administrative officials, advocated by Aristotle, and used in classical Athens and Venice, which is based on the drawing of lots as opposed to election by vote.

Soviet democracy or Council democracy, a form of democracy where the workers of a locality elect recallable representatives into organs of power called soviets (councils.) The local soviets elect the members of regional soviets who go on to elect higher soviets.

Totalitarian democracy, a system of government in which lawfully elected representatives maintain the integrity of a nation state whose citizens, while granted the right to vote, have little or no participation in the decision-making process of the government.

Westminster democracy, a parliamentary system of government modeled after that of the United Kingdom system.

Workplace democracy, the application of democracy to the workplace as opposed to conventional top-down management hierarchy.

See? Bukankah ini membingungkan bagi siapa saja yang mau mengaplikasikan demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan dalam suatu negara? Banyak hal yang harus dipertimbangkan untuk menerapkan demokrasi, 2 diantaranya yaitu: a. kita harus mempelajari semua tipe demokrasi yang ada dengan cara seksama (ingat, ini untuk diterapkan dalam suatu negara, bukan untuk bahan ujian mata pelajaran PPKN) dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya (ingat, negara tanpa sistem pemerintahan baku, sesingkat apapun masa vakum tersebut, sama saja dengan tidak ada negara). b. setelah memahami dengan jelas semua tipe demokrasi, saatnya memilih tipe mana yang akan diambil untuk diterapkan, dan tentunya memilih satu diantara sekian banyak pilihan bukanlah sebuah hal yang mudah.

Itu saja tentang demokrasi, sebab akan menjadi terlalu bertele-tele jika saya tuliskan semua hal yang perlu diketahui dari demokrasi, anda-anda yang mengapresiasi blog ini tentu bukan orang-orang malas yang tidak bisa mencari referensi tentang demokrasi yang umum dijual di toko-toko buku langganan anda (yang langganannya toko buku lho, kalau langganannya diskotik ya ngga ikut-ikut saya, hehe). OK, saatnya menuju bagian kedua yang tak kalah seru, pemilu.

BAGIAN KEDUA: PEMILU

Saya tak merasa perlu memberikan definisi pemilu karena tiap lima tahun sekali kita sudah melaksanakannya, bahkan dalam suasana penuh kebahagiaan karena berlabel pesta rakyat, haha, yang pesta siapa yang nangis siapa… Ada-ada aja istilahnya.

Langsung saja, banyak kerancuan dalam pemilu, berikut ini 15 diantaranya sebagai berikut: [diambil dari daftar isi (bukan berarti saya ngga membaca isinya lho) buku MEMBONGKAR DOSA-DOSA PEMILU: PRO KONTRA PRAKTIK PEMILU PERSPEKTIF SYARIAT ISLAM (TANWIR AL-DHULUMAT BI KASYFI MAFASID WA SYBUHAT AL-INTIKHABA) karya Abu Nasr Muhammad Al-Imam.]

1. Kerancuan pertama: para pendukung pemilihan umum menyatakan bahwa secara umum demokrasi sesuai dengan islam

2. Kerancuan kedua: para pendukung pemilihan umum menyatakan bahwa pemilihan umum sudah ada pada masa awal

3. Kerancuan ketiga: para pendukung pemilihan umum membolehkan mengambil sebagian aturan jahiliyah

4. Kerancuan keempat: para pendukung pemilihan umum menyatakan bahwa pemilihan umum adalah masalah ijtihadiyah

5. Kerancuan kelima: para pendukung pemilihan umum memasukan pemilihan umum dalam kategori masalah murasalah

6. Kerancuan keenam: para pendukung pemilihan umum menyatakan bahwa pemilu dan partai hanyalah kemasan (wadah) bukan substansi

7. Kerancuan ketujuh: para pendukung pemilu berdalalih menyatakan bahwa mereka berpartisi dalam pemilihan umum untuk kebaikan

8. Kerancuan kedelapan: para pendukung pemilihan umum menyatakan bahwa mereka mengikuti pemilu untuk mendirikan kedaulatan Islam

9. Kerancuan kesembilan: para pendukung pemilihan umum menyatakan bahwa pemilihan umum adalah cara menegakkan syariat secara periodik tidak langsung

10. Kerancuan kesepuluh: para pendukung pemilihan umum menyatakan bahwa dengan pemilihan umum mereka akan meng-amandemen undang-undang sekuler menjadi undang-undang Islami

11. Kerancuan kesebelas: para pendukung pemilihan umum menyatakan, “kami tidak akan membiarkan musuh menguasai kepemimpinan.”

12. Kerancuan keduabelas: para pendukung pemilihan umum menyatakan, “kami dipaksa mengikuti pemilu dan masuk parlemen.”

13. Kerancuan ketigabelas: para pendukung pemilu mengatakan, “partisipasi kami dalam pemilu karena alasan darurat.”
14. Kerancuan keempatbelas: para pendukung pemilu mengatakan, “kami mendukung pemilu karena pertimbangan memilih bahaya yang paling ringan.”

15. Kerancuan kelimabelas: para pendukung pemilu mengatakan bahwa pemilu telah ditiadakan oleh para ulama senior

Kemudian, amat banyak kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan dari cara pemungutan suara, di antaranya: [diambil dari artikel berjudul SYUBHAT-SYUBHAT SEKITAR MASALAH DEMOKRASI DAN PEMUNGUTAN SUARA yang dimuat di http://www.almanhaj.or.id/.%5D

1. Termasuk perbuatan syirik kepada Allah.
2. Menekankan suara terbanyak.
3. Anggapan dan tuduhan bahwa dinul Islam kurang lengkap.
4. Pengabaian wala’ dan bara’.
5. Tunduk kepada Undang-Undang sekuler.
6. Mengecoh (memperdayai) orang banyak khususnya kaum Muslimin.
7. Memberikan kepada demokrasi baju syariat.
8. Termasuk membantu dan mendukung musuh musuh Islam yaitu Yahudi dan Nashrani.
9. Menyelisihi Rasulullah dalam metoda menghadapi musuh.
10. Termasuk wasilah yang diharamkan.
11. Memecah belah kesatuan umat.
12. Menghancurkan persaudaraan sesama Muslim.
13. Menumbuhkan sikap fanatisme golongan atau partai yang terkutuk.
14. Menumbuhkan pembelaan membabi buta (jahiliyah) terhadap partai-partai di golongan mereka.
15. Rekomendasi yang diberikan hanya untuk kemaslahatan golongan.
16. Janji janji tanpa realisasi dari para calon hanya untuk menyenangkan para pemilih.
17. Pemalsuan-pemalsuan dan penipuan-penipuan serta kebohongan-kebohongan hanya untuk meraup simpati massa.
18. Menyia-nyiakan waktu hanya untuk berkampanye bahkan terkadang meninggalkan kewajiban (shalat dan lain-lain).
19. Membelanjakan harta tidak pada tempat yang disyariatkan.
20. Money politics, si calon menyebarkan uang untuk mempengaruhi dan membujuk para pemilih.
21. Terperdaya dengan kuantitas tanpa kualitas.
22. Ambisi merebut kursi tanpa peduli rusaknya aqidah.
23. Memilih seorang calon tanpa memandang kelurusan aqidahnya.
24. Memilih calon tanpa perduli dengan syarat-syarat syar’i seorang pemimpin.
25. Pemakaian dalil-dalil syar’i tidak pada tempatnya, di antaranya adalah ayat-ayat syura yaitu Asy-Syura’: 46.
26.Tidak diperhatikannya syarat-syarat syar’i di dalam persaksian, sebab pemberian amanat adalah persaksian.
27. Penyamarataan yang tidak syar’i, di mana disamaratakan antara wanita dan pria, antara seorang alim dengan si jahil, antara orang-orang shalih dan orang-orang fasiq, antara Muslim dan kafir.
28. Fitnah wanita yang terdapat dalam proses pemungutan suara, di mana mereka boleh dijadikan sebagai salah satu calon! Padahal Rasulullah telah bersabda: “Tidak beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada kaum wanita”. [Hadits Riwayat Bukhari dari Abu Bakrah]
29. Mengajak manusia untuk mendatangi tempat-tempat pemalsuan.
30. Termasuk bertolong-tolongan dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
31. Melibatkan diri dalam perkara yang sia-sia dan tidak bermanfaat.
32. Janji-janji palsu dan semu yang disebar.
33. Memberi label pada perkara-perkara yang tidak ada labelnya seperti label partai dengan partai Islam, pemilu Islami, kampanye Islami dan lain-lain.
34. Berkoalisi atau beraliansi dengan partai-partai menyimpang dan sesat hanya untuk merebut suara terbanyak.
35. Sogok-menyogok dan praktek-praktek curang lainnya yang digunakan untuk memenangkan pemungutan suara.
36. Pertumpahan darah yang kerap kali terjadi sebelum atau sesudah pemungutan suara karena memanasnya suasana pasca pemungutan suara atau karena tidak puas karena kalah atau merasa dicurangi.

Itu saja dulu sudah cukup saya kira. Sekiranya tidak menjadi terlalu panjang, tentu saya akan membahas poin-per-poin diatas. Anda bisa cari buku MEMBONGKAR DOSA-DOSA PEMILU: PRO KONTRA PRAKTIK PEMILU PERSPEKTIF SYARIAT ISLAM yang hampir mirip poin-poinnya, insyaAlloh masih mudah mencarinya, tak seperti mencari buku TAREKAT MASON BEBAS, haha. Saatnya menuju bagian ketiga, bagian yang paling saya sukai, konspirasi…

BAGIAN KETIGA: KONSPIRASI

Demokrasi, sebagai sebuah sistem buatan manusia, tentu tak lepas dari vulnerabilities seperti halnya software bikinan Microsoft yang rentan dengan bug sehingga sistem keamanan situs KPU 2004 beberapa saat lalu bisa hacked and cracked oleh seorang hacker dari daerah Kebumen bernama Dani Firman Syah a.k.a Xnuxer, yang juga penulis buku TIP & TRIK COMPUTER HACKING: HACKING & CARA PENGAMANANNYA buku 1 & 2 [makanya denger nasehat Susanto alias S’to dalam bukunya SIH / SENI INTERNET HACKING: UNCENSORED terbitan Jasakom, dan buat admin situs KPU jangan terlalu arogan dong, sok-sokan bilang security-nya tak bisa ditembus. Ngga ada sistem yang benar-benar aman, sekalipun computer anda offline.]

“Gung, apa hubungannya sama hacking?” Hehe, bagus kalau ada yang menanyakan gitu. Saya baru saja menonton sebuah film documenter bagus yang berhubungan dengan hacking maupun demokrasi, yaitu HACKING DEMOCRACY, yang menunjukkan kecurangan-kecurangan yang terjadi pada pemilu di negara yang dianggap penjaga demokrasi bernama Amerika Serikat yang juga dikenal sebagai Uncle Sam (Samiri kali yaw?), atau menurut P.J. O’Rourke dalam bukunya PARLIAMENT OF WHORES: A LONE HUMORIST ATTEMPTS TO EXPLAIN THE ENTIRE U.S. GOVERNMENT disebut “Uncle Sucker”.

HACKING DEMOCRACY menceritakan bagaimana suara hasil pemilu dimanipulasi oleh hacker sehingga hasilnya – belakangan setelah dilakukan investigasi oleh seorang nenek bernama Bev Harris yang didukung kelompok aktivis dari Seattle yang dimulai dengan pertanyaan sederhana “bagaimana penghitungan suara dilakukan” – dianggap tidak valid, dan berikut ringkasannya:

Mereka memulai segalanya dari Florida dan California hingga ke Ohio dan negara bagian Washington untuk mencari kebenaran. Perjalanan ini difilmkan oleh Simon Ardizzone, Robert Cohens, dan Russell Michaels untuk membongkar sebuah sistem busuk yang dipenuhi teka-teki mengenai pegawai pemilu yang tidak kompeten, yang tidak bekerja akurat serta bagaimana mesin penghitung suara yang dapat dirancang untuk mencuri hasil suara pemilu. Harris dan para aktivis temannya [juga dibantu beberapa computer scientist] membongkar kelemahan sistem mesin penghitung suara pemilu yang diproduksi perusahaan DIEBOLD.

Mereka mencari dan meneliti lebih lanjut hingga ke kantor pengurus pemilu di Florida. Harris dan para aktivis tersebut [dibantu seorang hacker dari Finlandia] melakukan serangkaian pengetesan terhadap mesin penghitung suara yang selama ini digunakan dalam pemilu yang diklaim bebas serta aman dan terpercaya. Hasil membuktikan bahwa hasil suara dalam mesin tersebut dapat dengan mudah dicuri dan dirubah datanya sesuai dengan keinginan yang berkepentingan, hanya dengan memory card berisi script untuk kegiatan tersebut.

HACKING DEMOCRACY menunjukan dengan gamblang adanya rahasia, kroniisme, dan konspirasi terhadap pemilu yang dilakukan perperiodenya selama ini baik di Amerika dan kemungkinan besar di Negara penganut demokrasi lainya.

See? Di Amerika yang dikatakan sebagai penjaga Demokrasi dan kekritisan warganya sudah tinggi saja masih bisa terjadi kecurangan seperti itu, apalagi di satu negara yang warganya sedikit sekali membaca tapi banyak komentar, ngga usah sebut contoh ya, ntar dibilang ngga nasionalis, hahahaha. Nasionalisme lagi, emang negara adalah segala-galanya apa? Right or wrong my country, haha, untung dalam Islam diajarkan bahwa yang BENAR TETAPLAH BENAR dan yang SALAH TETAPLAH SALAH. Itukah nasionalisme anda? Apa bedanya dengan cinta buta anak ABG yang baru “kenal” cinta? Saya memang cinta Indonesia, tapi saya lebih cinta Islam dan Yang Mewahyukannya, yang mengajarkannya, serta yang membelanya, tanpa perlu harus memuja budaya Arab atau Arab secara keseluruhan, seperti yang sering dituduhkan musuh-musuh Islam, emangnya semua yang berbau Arab pasti Islam po? Baca sejarah yang kritis dong, Abu Jahal dan Abu Lahab orang mana? Pakaiannya saya yakin tak beda jauh dengan Nabi SAW karena pernah sezaman, tapi apa kita akan mengatakan dua cecunguk itu orang Islam atau Islami hanya karena mereka orang Arab? Nah, itulah jeleknya nasionalisme, ngga objektif. Ngga usah protes dan bilang saya bawa-bawa agama, ini hak saya dalam negara demokrasi, apalagi agama saya termasuk mayoritas dalam jumlah, berarti dalam konteks demokrasi harus menang dong, kecuali jika demokrasi ngga lebih dari sekedar omong kosong saja.

Saya kira cukup satu contoh saja konspirasinya, anda yang cerdas dan kreatif pasti bisa mencari contoh lain dari negara kita sendiri. Saya hanya memberikan trigger, saya tak ingin mencekoki anda dengan materi jadi yang tak perlu dikembangkan dan diriset lagi, karena Conspiratorial View of History (menurut A. Ralph Epperson dalam buku THE UNSEEN HAND yang sedang dalam proses penerjemahan untuk dicetak oleh mr Joe Jussac kedalam bahasa Indonesia) akan menjadi tak ada gunanya lagi jika saya lakukan itu. Menjadi basi seperti halnya undang-undang di sebuah negara yang katanya penjunjung demokrasi, tapi siap menindak mereka-mereka yang mempropagandakan untuk golput pada pemilu, seolah-olah golput itu bukan sebuah pilihan, tapi malah melindungi aliran-aliran sesat yang jauh lebih merusak atas nama demokrasi, standar yang aneh. Apalagi, kutipan ayat-ayat dari Protocols of Zion diatas bisa menjadi bahan dasar untuk menge-check and recheck bau konspirasinya, bukan sekedar pemanis artikel ini saja. Semoga artikel ini bermanfaat, amien. Ada kurangnya mohon maaf, ada lebihnya mohon dibagi.

*) physiognomy: (Technical) The general appearance of a person’s face [LONGMAN DICTIONARY OF CONTEMPORARY ENGLISH, halaman 1233]

Terimakasih untuk seorang sahabat yang minta untuk tidak dipublikasikan identitasnya yang sudah membantu membuatkan summary film HACKING DEMOCRACY, sekaligus mencarikan artikel-artikel yang relevan tentang demokrasi.

Untuk dek Imel dari Blog Bening Hati, ini janji saya. Saya tunggu artikel sampeyan di blog anda yang pro demokrasi, jadi bagi para pembaca yang penasaran bisa membandingkan. Artikel ini saya buat bersamaan dengan saya menulis respon untuk salah satu artikel di blog tersebut yang berjudul ISLAM BANGET! TARBIYAH BANGET! PKS BANGET!

Pada kesempatan mendatang saya insyaAlloh akan membahas masalah HAM, yang jadi satu paket dengan demokrasi.

Referensi:

A. Ralph Epperson, THE UNSEEN HAND
Abdul Ghany bin Muhammad ar-Rahl, AKTIVIS PARTAI KORBAN FATAMORGANA DEMOKRASI
Abu Nashr Muhammad al-Imam, MEMBONGKAR DOSA-DOSA PEMILU
Adian Husaini, WAJAH PERADABAN BARAT
Hafizh Shalih, MENGADILI DEMOKRASI
Henry Ford, THE INTERNATIONAL JEW ABRIDGED EDITION AND THE PROTOCOLS OF THE ELDERS OF ZION
Muhammad Fahim Amin, RAHASIA GERAKAN FREEMASONRY DAN ROTARY CLUB
Syaikh Abu Muhammad ‘Ashim al Maqdisi, AGAMA DEMOKRASI
Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Manshur al-‘Udaini, MEMBONGKAR KEDOK AL QARADHAWI
P. J. O’Rourke, PARLIAMENT OF WHORES
HACKING DEMOCRACY
http://www.almanhaj.or.id/
http://www.liberty-page.com/
http://www.rense.com/
http://www.wikipedia.com/
Dan sumber-sumber lain yang maaf saya kurang cermat dokumentasinya

Ditambahkan pada 06 Desember 2008: Kata munafik saya ganti menjadi hipokrit (lihat kata hipokrit yang berwarna merah diatas) karena koreksi dari kang Soelfan akhirzaman.info. Terimakasih untuk kritiknya.

Older Posts »

Categories